“Hiduplah seperti anak
kecil!” Itulah salah satu pesan dari injil (Mat 18:1-5). Beberapa orang sering
menganggap remeh pada anak kecil terutama budaya lama dari NTT. Beberapa budaya
lama di NTT sama sekali tidak bisa menerima pendapat atau masukan dari orang
muda apalagi anak kecil, malahan perbuatan seperti ini dianggap tidak sopan.
Jangankan memberi pendapat dan masukan, duduk bersama dengan orang dewasa juga
tidak bisa karena dianggap tidak sopan.
Di dalam kitab suci Yesus menggunakan anak
kecil sebagai cermin kehidupan yang baik (bdk. Mat 18:2-5) bukan hanya Yesus
yang mengungkapkan hal ini tetapi Bunda Maria juga mengungkapkan demikian jika
dilihat dalam arti luas (bdk. Luk 1:52). Ungkapan dari Yesus dan Bunda Maria
secara tidak langsung menegaskan kembali apa yang dikatakan Allah kepada Samuel
ketika hendak mengurapi Daud anak Isai menjadi raja. Tetapi berfirmanlah Tuhan
kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku
telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia
melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1 Sam 16:7).
Kehidupan anak-anak
sungguh menjadi cermin bagi orang-orang yang ingin hidup dengan baik. Tanpa
disadari ada tiga hal menarik yang bisa ditiru dari anak-anak;
1.
Mereka besikap
polos atau jujur.
Anak kecil pada umumnya bersifat polos dan tidak bisa berbohong.
Mereka selalu mengatakan apa adanya. Di zaman ini sangat sulit menemukan orang
yang jujur. Sikap jujur selalu mendapat tantangan yang luar biasa sehingga
beberapa orang tidak bisa menerapkan sikap ini karena lebih memilih kebahagian
profan dibandingkan kebahagiaan surgawi. Semua hal baik akan kita peroleh jika
kita mencari kerajaan Allah terlebih dahulu (bdk. Mat 6:33).
2.
Mereka tidak
pernah menghandalkan kemampuan diri sendiri.
Dunia kanak-kanak merupakan dunia bermain. Bermain
bersama teman-teman terkadang menimbulkan pertengkaran sehingga muncul sebuah
ungkapan yang masih ada sampai saat ini yaitu; “Kasih tahu kau bapakku” atau
“Kasih tahu kau mamaku”. Ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bahwa
anak-anak tidak menghadalkan kemampuan diri sendiri. Sebagai anak Allah kita
seharusnya sadar bahwa segala kemampuan dan kuasa yang kita miliki adalah milik
Tuhan sehingga kita bisa menjadi pribadi yang sungguh menghandalkan Tuhan.
3.
Mereka tidak
pernah meragukan orang tua (sungguh beriman).
Aku belum pernah melihat anak yang bimbang terhadap
hidupnya dengan berpikir apa yang akan dimakan dan diminum pada hari ini karena
mereka tidak pernah meragukan orang tuanya. Kehidupan mereka memperlihatkan
cara beriman yang sesungguhnya pada Allah dalam menempuh perjalanan kehidupan.
Dari
tiga hal tersebut aku dapat melihat bahwa berjalan di jalan menjawab panggilan
Tuhan perlu ada kejujuran, menghandalkan Tuhan dan percaya pada Tuhan. Jujur
merupakan aspek yang sangat penting terutama jujur dengan diri sendiri. Jujur
dengan diri sendiri bukanlah hal yang mudah karena harus menerima dan menyukuri
diri apa adanya terlebih dahulu. Sesudah mengenal dan menerima diri secara
mendalam, barulah bisa melangkah dengan yakin namun tetap menghandalkan Tuhan
dan percaya pada Tuhan seperti anak kecil yang menghandalkan dan percaya pada orang
tuanya.
SUMBER
KITAB
SUCI
Alkitab
Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia, 2015.
EmoticonEmoticon