Kamis, 07 Oktober 2021

PENYEBAB ORANG YAHUDI TIDAK BERGAUL DENGAN ORANG SAMARIA


 

PENYEBAB ORANG YAHUDI TIDAK BERGAUL

DENGAN ORANG SAMARIA

Jenely Dinus Pati

Mahasiswa Fakultas Teologi Wedabakti (FTW) Universitas Sanata Dharma (USD)



Pengantar

Penulisan paper ini bertujuan untuk mengenal dan memahami “siapa itu orang Yahudi?” dan “siapa itu orang Samaria?”. Tambahan lagi, penulisan paper ini juga mau mengenal dan memahami latar belakang yang menyebabkan orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria (Yoh 4: 9). Penulisan dan bahasa paper ini sungguh sederhana. Perihal tersebut diharapkan dapat membantu para pembaca agar bisa memahami dengan mudah dan mendalam.

1. Orang Yahudi

Pada mulanya sebutan “orang Yahudi” hanya dikenakan oleh keturunan Yehuda anak Israel dari Lea (2Raj 16:6). Setelah kembali dari pembuangan semua bangsa Israel disebut orang Yahudi.[1] Orang Yahudi atau bangsa Israel terdiri dari dua belas suku yaitu; Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar, Zebulon, Dan, Naftali, Gad, Asyer, Yusuf dan Benyamin (Kej 49: 2-28). Bangsa ini hidup dalam satu kelompok sejak berada di Mesir dan sampai masa pemerintahan raja Salomo. Setelah raja Salomo meniggal dunia, Orang Yahudi atau bangsa Israel terbagi atas dua kerajaan yaitu; kerajaan utara yang meliputi sepuluh suku dan Kerajaan selatan yang meliputi dua suku (1Raj 12: 1-24).[2]

Kerajaan Israel adalah kerajaan utara sedangkan kerajaan Yehuda adalah kerajaan selatan.[3] Nama kerajaan “utara” dan “selatan” merujuk pada posisi area kekuasaan di mana kerajaan Israel terletak di utara sedangkan kerajaan Yehuda terletak di selatan.[4] Kerajaan utara terdiri atas sepuluh suku yaitu; Ruben, Simeon, Lewi, Isakhar, Zebulon, Dan, Naftali, Gad, Asyer, dan Yusuf. Sedangkan kerajaan selatan terdiri atas dua suku yaitu; Yehuda dan Benyamin (1Raj 12: 23-24). Kerajaan utara dipimpin oleh raja Yerobeam dan Kerajaan selatan dipimpin oleh raja Rehabeam (1Raj 12: 17,20).

Raja Rehabeam menjadi penyebab pecahnya bangsa Israel. Ketika bangsa Israel meminta keringan dari pajak dan pekerjaan mereka, Rehabeam meminta waktu tiga hari untuk mempertimbangkan hal tersebut (1Raj 12: 5). Perihal tersebut dibicarakannya dengan para penasihatnya. Namun pada akhirnya dia mengambil keputusan yang kurang tepat. Rehabeam tidak mengindahkan nasihat para tua-tua yang mendampingi Salomo, ayahnya. Dia malah mendengarkan nasihat orang-orang muda yang sebaya dengannya. Akhirnya Rehabeam memutuskan untuk menambah beban bangsa Israel. Keputusan tersebut menjadi penyebab orang Yahudi terbagi dalam dua kelompok. Dua suku dipimpin oleh Rehabeam. Lalu sepuluh suku lainnya mengangkat Yerobeam menjadi raja mereka.[5]

Pada akhirnya, dua kerajaan tersebut musnah. Kerajaan utara dimusnahkan oleh raja Asyur pada masa pemerintahan raja Hosea lalu bangsa Israel diangkut ke Asyur (2Raj 17: 23).[6] Sedangkan kerajaan selatan dimusnahkan oleh raja Babel mulai dari masa pemerintahan raja Yoyakin  (2Raj 24: 14-15) sampai pemerintahan raja Zedekia (2Raj 24: 18- 25: 7). Pada masa raja Yoyakin, semua orang di Yerusalem diangkut ke Babel kecuali orang lemah (2Raj 24: 14). Lalu pada masa pemerintahan raja Zedekia, semua orang di Yerusalem diangkut lagi ke Babel kecuali para tukang kebun anggur dan para peladang (2Raj 25: 11-12). Selain itu, raja Nebukadnezar juga memusnahkan Bait Allah di Yerusalem. Hal ini disebabkan oleh pemberontakan raja Zedekia terhadap raja Nebukadnezar, raja Babel.[7]

2. Orang Samaria

Orang samaria adalah orang Yahudi. Mereka adalah orang Israel yang tinggal di kota kerajaan utara yaitu; kota Samaria. Mereka adalah orang-orang Yahudi lapisan terendah yang dipindahkan oleh raja Asyur ke Yerusalem. Perpindahan tersebut terjadi ketika kerajaan Israel sudah dihancurkan oleh raja Asyur.[8] Di samping itu, mereka adalah orang Yahudi yang tidak murni lagi. Hal tersebut disebabkan oleh perkawinan campur atau perkawinan dengan bangsa lain yang bukan bangsa Israel. Hal itu terjadi ketika mereka ditaklukkan oleh raja Asyur. Mereka melakukan kawin campur dengan orang Asiria.[9]

3. Penyebab Orang Yahudi Tidak Bergaul dengan Orang Samaria

Orang-orang Yahudi yang kembali dari pembuangan adalah mereka yang hidup baik. Mereka sungguh menjaga kemurnian sebagai orang Yahudi. Bahkan hidup keagamaan mereka juga baik. Mereka adalah orang-orang yang cerdas dan berbakat. Oleh karena itu, mereka bertekad untuk membangun kembali Yerusalem dan Bait Allah.[10]

Ketika orang Samaria mendengar bahwa orang Yahudi hendak membangun Bait Allah, mereka menawarkan diri untuk membangun bersama karena mereka juga menyembah kepada Allah. Selain itu, mereka juga orang Yahudi. Namun niat baik tersebut ditolak oleh orang Yahudi (Ezr 4: 1-3). Mereka menolak keterlibatan orang Samaria karena bagi mereka orang Samaria bukanlah orang Yahudi yang murni lagi. Hal itu disebabkan oleh perkawinan campur yang dilakukan oleh orang Samaria.[11]

Persoalan tersebut menjadi semakin parah ketika Ezra turut campur tangan. Ezra mencegah semua perkawinan campur. Bahkan dia tidak hanya mencegah perkawinan campur tersebut tetapi juga menghacurkan perkawinan campur yang sudah terjadi. Perkawinan campur tersebut dihancurkan oleh Ezra secara kejam.[12]

Penolakan yang dialami oleh orang Samaria menjadi pendorong bagi mereka untuk membangun kenisah sendiri. Mereka membangun kenisah sendiri di Gunung Gerizim.[13] Hal ini menjadi puncak ketegangan di antara orang Yahudi dan orang Samaria. Hal ini membuat orang Yahudi dan orang Samaria semakin terpisah jauh karena mereka tidak melaksakan ibadah di tempat yang sama lagi. Orang Yahudi beribadah di Yerusalem sedangkan orang Samaria beribadah di Gunung Gerizim.

Kenisah yang dibangun oleh orang Samaria ternyata menjadi persoalan. Hal tersebut menyebabkan ketegangan antara orang Samaria dan orang Yahudi semakin besar. Orang Samaria tidak lagi mengakui Bait Allah di Yerusalem sebagai rumah Allah. Mereka mengklaim kenisah merekalah yang lebih pantas menjadi rumah Allah yang sejati. Bagi mereka, kenisah merekalah yang dipilih dan diberkati oleh Allah.[14] Tambahan lagi, orang Samaria juga tidak mengakui kitab-kitab yang ada pada orang yang Yahudi kecuali kelima kitab Musa.[15]

Sebaliknya orang Yahudi juga menganggap bahwa kenisah orang Samaria tidak suci. Bahkan tempat tersebut dianggap tidak layak untuk mempersembahkan korban. Anggapan tersebut muncul dari sebagian besar orang Yahudi. Bagi mereka hanya satu tempat yang dipilih oleh Allah. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui adanya tempat yang kedua karena Allah hanya menetapkan satu tempat di salah satu suku Israel (Ul 12: 14).[16]

Kesimpulan

Berdasarkan semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pecahnya kerajaan Israel menjadi cikal bakal bagi perpecahan orang Yahudi atau penyebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria. Perihal tersebut semakin berkembang ketika orang Yahudi menolak tawaran kerja sama dari orang Samaria untuk membangun kembali Bait Allah di Yerusalem. Penolakan tersebut diakibatkan oleh rasa tidak suka karena bagi mereka orang Samaria bukan orang Yahudi asli lagi melainkan sudah bercampur dengan bangsa lain. Pada akhirnya orang Samaria membangun kenisah sendiri di gunung Gerizim. Bahkan mereka juga tidak mengakui kitab-kitab yang ada pada orang yang Yahudi kecuali kelima kitab Musa. Itulah hal-hal yang menyebabkan orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.


DAFTAR PUSTAKA

Kitab Suci

Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2015.

Buku

Carr, David M. 2010. An Introduction to the Old Testament : Sacred Texts and Imperial Contexts of the Hebrew Bible. Wiley-Blackwell: United Kingdom.

Wislocki, Lou. 2019. The Evolution of the Gospel in the Bible. Papias Press: Veto St Grand Rapids.

Dewberry, William. 2014. Communion of Love. AuthorHouse: Bloomington.

Rothery, Francis. 2014. Missional: Impossible!: The Death of Institutional Christianity and the Rebirth of G-d. Wipf and Stock Publishers: Eugene.

Pitts, David and Pitts, Martha. 2010. Carvings on the Heart. Tin Cup Projects: Colorado.

Douglas, J. D. and Tenney, Merrill C. Revised by Silva, Mosés. 2011.  Zondervan Illustrated Bible Dictionary. Zondervan: Michigan.

Nelson, Thomas. 2014. The Chronological Study Bible, New International Version. Thomas Nelson: Nashville Dallas Mexico City Rio De Janerio.

Weiden, Wim van der dan Suharyo Ignatius. 2000. Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama. Kanisius: Yogyakarta.

Storm, Mel. 2014. Living Lord, Empowering Spirit, Testifying People: The Story of the Church in the Book of Acts. Wip and Stock: Eugene.

Ed. by  Neusner, Jacob, Green, William Scott, and Frerichs, Ernest S. 1987. Judaisms and Their Messiahs at the Turn of the Christian Era. Cambridge University: New York.

Pummer, Reinhard. 2002. Early Christian Authors on Samaritans and Samaritanism. J.C.B. Mohr (Paul Siebeck): Tübingen.

Esiklopedia

1967. New Catholic Encyclopedia. Vol. XII: Qat to Scr. McGraw-Hill Book Company: New York St Louis San Francisco Toronto London Sydney.

Heuken, Adolf. 1995. Ensiklopedia Gereja. Jilid V: Tr-Z, Sejarah Gereja di Indonesia, Sejarah Gereja di Asia. Yayasan Cipta Loka Caraka: Jakarta.



[1] Bdk. Heuken, Adolf, Ensiklopedia Gereja. Jilid V: Tr-Z, Sejarah Gereja di Indonesia, Sejarah Gereja di Asia, (Yayasan Cipta Loka Caraka: Jakarta, 1995), 115.

[2] The people are largely the descendants of the Ten Tribes of Israel that broke away from Judah at the death of Salomon. New Catholic Encyclopedia. Vol. XII: Qat to Scr, (McGraw-Hill Book Company: New York St Louis San Francisco Toronto London Sydney, 1967), 1009.

[3] This is distinction between "Judah" in the south and "Israel" in the north. Carr, David M,

An Introduction to the Old Testament : Sacred Texts and Imperial Contexts of the Hebrew Bible, (Wiley-Blackwell: United Kingdom, 2010), 23.

[4] The Kingdom of Israel located in the north, and the Kingdom of Judah in the south. Storm, Mel, Living Lord, Empowering Spirit, Testifying People: The Story of the Church in the Book of Acts, (Wip and Stock: Eugene, 2014), 16.

[5] After Solomon died, the people of Israel asked Rehobeam (his name meaning, he enlarges the people) to lighten the burden and labor Salomon had forced on them-excessive taxes the requisition of resources and a labor force. Rehoboam foolishly took the advise of his counselors and rejected their demands. Jeroboam (meaning he pleads the people's cause), who Salomon had exiled for treason, seized the opportunity to rally many of the tribes in rebellion against Rehoboam. Ten Tribes-after that referred to as Israel or Ephraim-broke away, leaving Rehoboam to rule only two-Judah and Benjamin. Wislocki, Lou, The Evolution of the Gospel in the Bible, (Papias Press: Veto St Grand Rapids, 2019), 18.   

[6] During the reign of King Hoshea of Israel, the Assyrians completed the destruction of the northern kingdom, and in 722 B.C, Israel was exiled to Assyria. Dewberry, William, Communion of Love, (AuthorHouse: Bloomington, 2014), 61.

[7] Rebellion by Zedekiah was the final straw for the Babylonians. Nebuchadnezzar marched on Jerusalem in 586 B.C. and breached the walls. He destroyed the temple that Judah had thought was invulnerable, took more of Judah's elite into exile. Carr, David M, An Introduction to the Old Testament : Sacred Texts and Imperial Contexts of the Hebrew Bible, 167.

[8] Bdk. Weiden, Wim van der dan Suharyo Ignatius, Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama, (Kanisius: Yogyakarta, 2000), 82.

[9] The Samaritans were a mixed race people who had intermarried with the Assyrians. Rothery, Francis, Missional: Impossible!: The Death of Institutional Christianity and the Rebirth of G-d, (Wipf and Stock Publishers: Eugene, 2014), 206.

[10] The Jewish exiles who returned to Jerusalem were people who had lived well in Babylon and Persia and had amassed great wealth. The people were intelligent and talented and were able to rebuild their civilization and practice their religion freely. The people banded together in unity and were determined to restore the city of Jerusalem and the temple of the Lord. Among those who returned to Jerusalem was a Levitical priest named Zerubbabel. Dewberry, William, Communion of Love, 77.

[11] The Samaritans offered to help, but the Jewish leaders refused, not wanting to mix with the non-Jews. Samaritans were half-Jew, half-Gentile. Pitts, David and Pitts, Martha, Carvings on the Heart, (Tin Cup Projects: Colorado, 2010), 39.

[12] The split was increased by the ruthlessness with which Ezra prevented and even destroyed already existing meriages. New Catholic Encyclopedia. Vol. XII: Qat to Scr, 1009.

[13] After the Israelites, returning from Babylonian exile, refused to let the mixed races of Samaria help rebuild Jerusalem (Ezra 4:1-4; Neh. 2:19-20; 13:28), the Samaritans built themselves a temple on Mount Gerizim. Douglas, J. D. and Tenney, Merrill C. Revised by Silva, Mosés, Zondervan Illustrated Bible Dictionary, (Zondervan: Michigan, 2011), 521.

[14] Tension between Samaritans and Jews goes back at least to the reconstruction of the Jerusalem temple (538 b.c.). Yet a definite break between these groups occurred around either 388 or 332 B.C. when the Samaritans built a rival temple on Mount Gerizim, claiming Shechem rather than Jerusalem as the location of the true house of God. Nelson, Thomas, The Chronological Study Bible, New International Version, (Thomas Nelson: Nashville Dallas Mexico City Rio De Janerio, 2014) 1066.

[15] In reality all Samaritans rejected the prophetic books of the Jewish Bible , accepting only the Pentateuch as Scripture. Pummer, Reinhard, Early Christian Authors on Samaritans and Samaritanism, (J.C.B. Mohr (Paul Siebeck): Tübingen, 2002), 33.

[16] Many other Jews - indeed , entire sects - held the Second Temple to be incompletely holy or even completely unfit for for the offering of sacrifice. If it was not God's Chosen Place, Deuteronomy 12: 5-14 would no longer forbid the existence of other Jewish sacrificial shrines. Jews might be free to recognize the legitimacy of other holy places , such as the Samaritan shrine on Mount Gerizim. Ed. by  Neusner, Jacob, Green, William Scott, and Frerichs, Ernest S., Judaisms and Their Messiahs at the Turn of the Christian Era, (Cambridge University: New York, 1987), 70.

Minggu, 10 Februari 2019

Who Is The Catholic Priest? Imam Katolik Itu Siapa?




WHO IS THE CATHOLIC PRIEST?



source: http://www.sesawi.net/belajar-dari-berbagai-tipe-romo-2/


Priest is a people who always is called “pastor”, “romo”, “father”, “padre”, “pater” and so on in the Catholic Church. They have many calling due to the different of language in every place made them have a lot of calling. For example, in English language they are called “father”, in Javanese language they are called “romo” and so on. Besides, they almost are different with other people.
First, they almost are smart in thinking, solving problems, managing time for praying, doing sport, taking rest, good in performance and so on. They almost are smart because they had accustomed all more than eight years before become a priest. Besides, some of them always reads book and buy a new book every month or week. They also learn many things from other people around them. In the other hand, they are diligent to do something. It had made them too smart in everything.
Second, they are a servant for all people. They must live around all people and they must know about the condition of all people around them. Besides, they are a prime servant in sacrament. It should for them. Even though, in the midnight or the distance is far. For example; giving the holy oil for people who needs. In the other hand, we can’t celebrate the holy mass without them due to only them can lead the holy mass.
Third, they can’t marry because they must be focus to serve other people. It will make them easy to go and serve in anywhere. It is also a rule from Church and the example of life from Jesus. In the other hand, all of Catholics are their mothers, fathers, brothers, sisters and sons. It made them have many families.
Accordingly, we can see that priests almost are different with other people. We can see its from their daily life and ability. Their daily life and ability made many people labeling that they are able to do anything. Therefore, they were looked different with others.

Rabu, 06 Februari 2019

Perbedaan Baptisan di dalam Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Protestan




PERBEDAAN BAPTISAN DI DALAM GEREJA KATOLIK DAN GEREJA-GEREJA PROTESTAN

sumber:http://cursillo.asn.au/fr-johns-reflection-the-feast-of-the-transfiguration/

Pembaptisan pada awalnya dilakukan oleh Santo Yohanes Pembaptis di sungai Yordan (bdk. Mat 3:6). Yesus juga dibaptis oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan ketika hidup sebagai manusia untuk menggenapi kehendak Allah (bdk. Mat 3:15-16). Baptisan merupakan sebuah wasiat yang diberikan oleh Yesus ketika Dia sedang terangkat ke surga (bdk. Mat 28:19). Baptisan merupakan keselamatan bagi setiap orang agar bisa masuk ke dalam kerajaan surga (bdk. Yoh 3:5). Baptisan membuat seseorang mati dan hidup kembali serta bersatu dalam Yesus Kristus (bdk. Rom 6:3-4). Pada umumnya orang dibaptis dengan air sebagai materi yang utama (bdk. Yoh 1:31, Kis 8:38). Air merupakan lambang penghapusan dosa atau penghapusan kejahatan manusia (bdk. Kej 6-7). Orang yang berhak menerima baptisan adalah mereka yang belum dibaptis dan beriman kepada Yesus Kristus serta memberi diri untuk dibaptis.
Di dalam Gereja Katolik Sakramen Baptis merupakan pembebasan bagi seseorang dari dosa dan diangkat menjadi anak Allah. Selain itu, dia akan diterima secara resmi oleh Gereja Katolik sebagai anggota Gereja Katolik dan sakramen ini menjadi pintu baginya untuk menerima sakramen lainnya.[1] Sakramen ini tergolong dalam sakramen inisiasi yang dapat diterima hanya satu kali seumur hidup. Materi utama dalam Sakramen Baptis adalah air. Namun pada umumnya materi yang digunakan di dalam Gereja Katolik adalah air, lilin, kain putih dan minyak krisma. Sedangkan baptisan dalam situasi darurat bisa menggunakan air saja. Gereja Katolik membaptis dengan cara menuangkan air ke atas dahi atau menenggelamkan ke dalam air sambil mengucapkan kata-kata Trinitas: “aku membaptis kamu dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus”. Sedangkan baptisan dengan cara percikan dianggap tidak sah oleh Gereja Katolik.[2] Gereja Katolik menggunakan rumusan baptis sesuai dengan perintah Yesus di dalam kitab suci tanpa menambah dan mengurangi eksistensinya (bdk. Mat 28:19). Hal tersebut yang menentukan sahnya suatu baptisan di dalam Gereja Katolik.
Penerima baptisan di dalam Gereja Katolik terdiri atas dua jenis yaitu: baptisan bayi dan baptisan dewasa. Namun di dalam gereja-gereja protestan hampir tidak ada baptisan bayi. Gereja katolik melaksanakan baptisan bayi dengan alasan agar bayi tersebut memperoleh keselamatan (bdk. Yoh 3:5). Selain itu, untuk memelihara warisan Gereja secara turun-temurun.[3] Namun dengan syarat orang tua dan orang tua wali baptis harus bersedia untuk mendidik anak tersebut sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.
Beberapa baptisan di dalam gereja-gereja protestan tidak diterima oleh Gereja Katolik karena tidak menggunakan rumusan Trinitas misalnya, baptisan dari GKT Bogor, GKJB Bekasi, GPDI Karmel Cipinang dan lain-lain. Sedangkan baptisan yang diterima oleh Gereja Katolik adalah baptisan dari GMAHK Cimindi Raya, GJBP dan lain-lain karena menggunakan rumusan Trinitas. Hampir semua gereja-gereja protestan membaptis hanya dengan satu materi yaitu; air. Pada umumnya mereka dibaptis dengan cara baptis selam.

DAFTAR PUSTAKA

KITAB SUCI
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2015.

SUMBER BUKU

SUMBER INTERNET
https://www.youtube.com/watch?v=-1vznor9gDM, diakses: 04 Februari 2019.
https://www.youtube.com/watch?v=CmFsGxR5kZg, diakses: 04 Februari 2019.
https://www.youtube.com/watch?v=doVusygl3jg, diakses: 04 Februari 2019.
https://www.youtube.com/watch?v=SC5NBWzNK4A, diakses: 04 Februari 2019.
https://www.youtube.com/watch?v=fRU_6YCp5p0, diakses: 04 Februari 2019.
https://www.youtube.com/watch?v=RNaMXNcttGA, diakses: 04 Februari 2019.



[1] Bdk. Silvester Susianto Budi. Tanya Jawab Seputar Kitab Hukum Kanonik Jilid 1. (Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2013), 32.
[2] Bdk. Silvester Susianto Budi. Ibid., 33.
[3] Bdk. Silvester Susianto Budi. Ibid., 33.

Minggu, 03 Februari 2019

Renungan Katolik Hiduplah Seperti Anak Kecil



HIDUPLAH SEPERTI ANAK KECIL

sumber: http://resim-indir.sayt.im/sep-oglan-ucun/

“Hiduplah seperti anak kecil!” Itulah salah satu pesan dari injil (Mat 18:1-5). Beberapa orang sering menganggap remeh pada anak kecil terutama budaya lama dari NTT. Beberapa budaya lama di NTT sama sekali tidak bisa menerima pendapat atau masukan dari orang muda apalagi anak kecil, malahan perbuatan seperti ini dianggap tidak sopan. Jangankan memberi pendapat dan masukan, duduk bersama dengan orang dewasa juga tidak bisa karena dianggap tidak sopan.
 Di dalam kitab suci Yesus menggunakan anak kecil sebagai cermin kehidupan yang baik (bdk. Mat 18:2-5) bukan hanya Yesus yang mengungkapkan hal ini tetapi Bunda Maria juga mengungkapkan demikian jika dilihat dalam arti luas (bdk. Luk 1:52). Ungkapan dari Yesus dan Bunda Maria secara tidak langsung menegaskan kembali apa yang dikatakan Allah kepada Samuel ketika hendak mengurapi Daud anak Isai menjadi raja. Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1 Sam 16:7).
Kehidupan anak-anak sungguh menjadi cermin bagi orang-orang yang ingin hidup dengan baik. Tanpa disadari ada tiga hal menarik yang bisa ditiru dari anak-anak;
1.      Mereka besikap polos atau jujur.
Anak kecil pada umumnya bersifat polos dan tidak bisa berbohong. Mereka selalu mengatakan apa adanya. Di zaman ini sangat sulit menemukan orang yang jujur. Sikap jujur selalu mendapat tantangan yang luar biasa sehingga beberapa orang tidak bisa menerapkan sikap ini karena lebih memilih kebahagian profan dibandingkan kebahagiaan surgawi. Semua hal baik akan kita peroleh jika kita mencari kerajaan Allah terlebih dahulu (bdk. Mat 6:33).
2.      Mereka tidak pernah menghandalkan kemampuan diri sendiri.
Dunia kanak-kanak merupakan dunia bermain. Bermain bersama teman-teman terkadang menimbulkan pertengkaran sehingga muncul sebuah ungkapan yang masih ada sampai saat ini yaitu; “Kasih tahu kau bapakku” atau “Kasih tahu kau mamaku”. Ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bahwa anak-anak tidak menghadalkan kemampuan diri sendiri. Sebagai anak Allah kita seharusnya sadar bahwa segala kemampuan dan kuasa yang kita miliki adalah milik Tuhan sehingga kita bisa menjadi pribadi yang sungguh menghandalkan Tuhan.
3.      Mereka tidak pernah meragukan orang tua (sungguh beriman).
Aku belum pernah melihat anak yang bimbang terhadap hidupnya dengan berpikir apa yang akan dimakan dan diminum pada hari ini karena mereka tidak pernah meragukan orang tuanya. Kehidupan mereka memperlihatkan cara beriman yang sesungguhnya pada Allah dalam menempuh perjalanan kehidupan.
            Dari tiga hal tersebut aku dapat melihat bahwa berjalan di jalan menjawab panggilan Tuhan perlu ada kejujuran, menghandalkan Tuhan dan percaya pada Tuhan. Jujur merupakan aspek yang sangat penting terutama jujur dengan diri sendiri. Jujur dengan diri sendiri bukanlah hal yang mudah karena harus menerima dan menyukuri diri apa adanya terlebih dahulu. Sesudah mengenal dan menerima diri secara mendalam, barulah bisa melangkah dengan yakin namun tetap menghandalkan Tuhan dan percaya pada Tuhan seperti anak kecil yang menghandalkan dan percaya pada orang tuanya.
SUMBER
KITAB SUCI
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2015.

Paper tentang Santo Paulus Rasul dari Tarsus



SANTO PAULUS RASUL DARI TARSUS

Rasul kelahiran Tarsus ini pada awalnya bernama Saulus. Rasul Paulus lahir sekitar tahun 5 – 15 dan sejak kecil dia sangat tertarik pada disiplin militer sehingga dalam dirinya tumbuh watak seorang militer.[1] Perubahan nama Santo Paulus Rasul dari bahasa Ibrani menjadi bahasa Romawi bukan hanya karena pertobatannya tetapi juga karena pada zaman itu mengganti nama bukanlah hal yang sulit.[2] Buktinya setelah Santo Paulus Rasul bertobat kita dapat melihat di dalam kitab suci yang masih menggunakan nama Saulus sampai pada Kisah Para Rusul bab 13 (bdk. Kis 13: 1-2,4,7,9). Sebelum bertobat Santo Paulus Rasul dikenal sebagai orang yang sangat kejam terhadap para pengikut Yesus Kristus. Semangat Santo Paulus Rasul sangat berkobar-kobar untuk menghancurkan kehidupan jemaat perdana karena sejak kecil dia dididik sebagai orang Farisi sehingga dia wajib menjaga leluhur bangsanya dengan baik.[3] Oleh itu kekejaman Santo Paulus Rasul terhadap jemaat perdana tidak hanya hadir dari dirinya sendiri melainkan didikannya sejak kecil.
Pertobatan Santo Paulus Rasul dimulai dari kisah perjalanannya menuju ke Damsyik (bdk. Kis 9:3-9). Pada saat itu cahaya dari langit mengelilinginya dan dia mendengar suara Yesus yang bersabda kepadanya. Setelah kejadian itu Santo Paulus Rasul bangkit berdiri dan membuka matanya tetapi dia tidak dapat melihat apa-apa karena matanya telah menjadi buta. Oleh itu dia dituntun oleh teman-teman seperjalannya ke Damsyik. Di Damsyik Tuhan telah menyiapkan Ananias sebagai pengantara pertemuan antara Rasul Paulus dengan Yesus.[4] Santo Paulus Rasul dibaptis oleh Ananias saat berada di Damsyik. Setelah menjadi pengikut Yesus Kristus Paulus juga mendapat tantangan yang hebat terutama ketika dia dilempari batu oleh orang-orang Yahudi (bdk. Kis 14:19). Saat itu orang-orang menyangka bahwa Paulus sudah mati namun ketika dikelilingi oleh murid-murid dia bangkit lagi (bdk. 14:20).
Setelah dibaptis oleh Ananias, Santo Paulus rasul memulai hidup baru bersama-sama dengan Jemaat Perdana. Pada awalnya Paulus bermisi bersama-sama dengan Barnabas namun setelah terjadi perselisihan mereka tidak bersama-sama lagi.[5] Dalam karya misi Paulus yang kedua Barnabas sudah tidak bersama-sama dengan dia. Misi Paulus yang kedua dimulai dari Asia Kecil, Makedonia, Yunani, Tesalonika, Atena, Korintus dan pada akhirnya dia kembali ke basis misinya. Karya misi Paulus yang ketiga dimulai dari Efesus, Yunani dan sampai ke Yerusalem.
Perjalanan misi terakhir Paulus ialah ke Roma. Paulus tinggal di rumah yang disewanya di Roma selama dua tahun (bdk. Kis 28:30). Di Roma Paulus mewartakan kerajaan Allah dan menerima semua orang yang datang kepadanya (bdk. Kis 28:31). Pada akhirnya Paulus meninggal karena kepalanya dipenggal. Saat dipenggal terlihat air dan darah yang mengalir dari tubuh Paulus.
Paulus merupakan rasul yang paling banyak menulis surat untuk jemaat-jemaat yang telah mendapat pewartaan tentang Yesus Kristus dan juga untuk teman-temnnya. Semua tulisan Paulus memberikan pengajaran dan inspirasi yang dapat membuat kehidupan orang kristen menjadi lebih indah seperti pelangi yang menghiasi alam pada saat hujan. Surat-surat yang ditulis oleh Paulus yaitu;
1.      Surat Paulus kepada jemaat di Roma.
2.      Surat Paulus yang pertama dan kedua kepada jemaat di Korintus.
3.      Surat Paulus kepada jemaat di Galatia.
4.      Surat Paulus kepada jemaat di Efesus.
5.      Surat Paulus kepada jemaat di Filipi.
6.      Surat Paulus kepada jemaat di Kolose.
7.      Surat Paulus yang pertama dan kedua kepada jemaat di Tesalonika.
8.      Surat Paulus yang pertama dan kedua kepada Timotius.
9.      Surat Paulus kepada Titus.
10.  Surat Paulus kepada Filemon.
Kendati Santo Paulus Rasul pada awalnya merupakan orang yang anti terhadap para pengikut Yesus Kristus. Namun pertobatannya menjadi ekspektasi bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus. Semua ini dapat kita lihat melalui karya-karya Paulus. Karya-karyanya bukan hanya pada pewartaan tetapi juga semua tulisannya.

DAFTAR PUSTAKA

KITAB SUCI
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2015.

SUMBER BUKU UTAMA

SUMBER BUKU PENUNJANG
Susianto Budi, Silvester. Mengenal Kitab Suci Perjanjian Baru. Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2014.
Benediktus . Para Rasul: Asal-usul Gereja dan Para Teman Sekerja Mereka (Judul Asli: The Apostles: The Origins of the Church and Their Co-workers), Penterj. Emanuel P. D. Martasudjita (Yogyakarta: Kanisius), 2015.

ü  Carilah ayat di dalam Kitab Suci yang menunjukan bahwa Paulus hampir mati!
“Tetapi datanglah orang-orang Yahudi dari Antiokhia dan Ikonium dan mereka membujuk orang banyak itu memihak mereka. Lalu mereka melempari Paulus dengan batu dan menyeretnya ke luar kota, karena mereka menyangka, bahwa ia telah mati.” (Kis 14:19).


[1] Bdk. Silvester Susianto Budi, Mengenal Kitab Suci Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), 37-39.
[3] Bdk. Benediktus . Para Rasul: Asal-usul Gereja dan Para Teman Sekerja Mereka (Judul Asli: The Apostles: The Origins of the Church and Their Co-workers), Penterj. Emanuel P. D. Martasudjita (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 112.
[4] Bdk. St Darmawijaya, Ibid., 123.
[5] Bdk. St Darmawijaya, Ibid., 182.