Kamis, 19 Oktober 2017

CERPEN TERBARU YANG BERJUDUL MALAIKAT KECIL




SUMBER: http://www.sigambar.com/2015/04/kumpulan-foto-bayi-lucu-pakai-baju.html
CERPEN D

Malaikat Kecil

       “Haah..” desah ku setelah selesai mengerjakan pekerjaan ku di kantor. Oh ya, namaku Eri. Nama yang biasa-biasa saja bukan? Ya, itu karena kedua orang tuaku menginginkan kesederhanaan dari diriku, tidak hidup berfoya-foya dan merugikan orang lain. Aku pun bahagia bisa hidup bersama mereka sampai suatu hari, mereka pergi dan belum kembali hingga hari ini. Ya, mereka pergi meninggalkan ku sendiri, dan aku menunggu mereka di bawah pohon beringin tua yang berdiri dengan tegak di samping rumahku. Aku ingin menceritakan kepada kalian kisah kecil ku di mana aku bertemu dengan seseorang yang berhasil menyelamatkan ku dari keputusasaan.
       Waktu itu orang-orang di sekitar ku selalu mengajak ku untuk bermain bersama mereka, ada juga yang mengajak ku pergi berlibur di luar kota. Tapi aku menolak semua itu, karena yang kuinginkan hanyalah kembalinya kedua orang tua ku. Pada saat itu aku masih kecil, sehingga mereka memberitahu ku bahwa kedua orang tua ku sedang bekerja di luar kota namun sekarang aku sadar bahwa mereka bukan pergi keluar kota tetapi mereka pergi meninggalkan dunia ku untuk selamanya.
       Waktu terus berlalu dan hari demi hari kuhabiskan hanya dengan duduk menunggu di bawah pohon beringin itu. Terkadang aku menangis sendiri ketika melihat anak-anak seusia ku bisa berjalan-jalan bersama dengan orang tua mereka. Hati kecilku selalu berteriak, ‘Mengapa aku? Mengapa bukan orang lain yang mengalami hal ini? Mengapa harus anak kecil seperti aku? Apakah Tuhan bertindak adil selama ini?’ Namun ini semua sudah terjadi dan aku tak bisa mengulangi waktu.
       Libur panjang pun tiba. Banyak tetangga ku yang berlibur ke kampung halamannya dan ada juga yang tetap tinggal. Bahkan, ada juga yang datang dari luar kota. Dan di saat itu lah hidupku berubah. Sore hari seperti biasa, aku duduk termenung di bawah pohon hingga tiba-tiba seorang anak seusia ku datang dan menyentuh pipiku dengan minuman dinginnya. “Aww...” teriak ku kaget. “Kamu kenapa bengong?” tanya anak itu. “Aku sedang menunggu Ibu dan Ayahku.” Jawab ku. “Kenapa gak nunggu di rumah aja? Di sini kan dingin.” kata anak itu. “Nggak apa-apa. Aku lebih senang di sini.” Kata ku sambil menjauhkan minuman dingin itu. “Ada apa? Minum aja, itu kan memang untukmu.” Katanya. “Untuk ku?” tanya ku sambil mengambil minuman itu. “Iya, aku Dinda. Aku lagi liburan nih. Aku datang dari kota.” Kata nya sambil menyalami ku. “Aku Eri. Aku tinggal di rumah itu dan aku sedang menunggu orang tua ku pulang dari luar kota.” Balas ku. “Jadi orang tuamu sedang keluar kota?” tanyanya dengan wajah polos. “Iya, makanya aku menunggu di sini.” Jawabku. “Kenapa mereka pergi dan meninggalkanmu sendiri?” tanyanya. “Aku juga tidak tahu” jawabku.


       Sejak perkenalan itu, Dinda semakin sering datang mengunjungi ku. Tidak terasa sudah satu minggu berlalu. “Eri!” teriak Dinda dari kejauhan. “Apa?” balas ku. “Kamu lapar gak?” tanya Dinda. “Ada apa memangnya?” tanya ku. “Ini, aku bawa makan siang. Kita makan, yuk!” kata nya. “Ngapain kamu sampai repot-repot begini?” tanya ku. “Ada deh.” Jawabnya singkat. Kami pun makan dengan nikmat. Entah kenapa tapi saat itu Dinda begitu khawatir. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya. Hingga aku memberanikan diri untuk bertanya. “Kamu kenapa, Dinda?” tanya ku. “Maksudmu?” tanya Dinda kembali. “Kamu kelihatannya khawatir.” Kata ku. “Ah, masa?” tanya Dinda sambil memegang kedua pipinya. “Iya, kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu, deh.” Kata ku. “Iya, aku memang sedang memikirkan sesuatu.” Kata nya. “Apa kamu sedang dalam masalah?” tanya ku. “Tidak kok. Kenapa kamu begitu perhatian sama orang lain? Bagaimana dengan kamu sendiri?” tanya Dinda. “Ini memang dari sananya. Kamu itu gak boleh bersedih, kamu masih ada kedua orang tua yang harus kamu banggakan, bukan?” tanya ku. “Lalu kamu sendiri?” tanya Dinda. Dengan mata yang berbinar aku menjawab, “Tentu saja aku juga akan membanggakan kedua orang tua ku ketika mereka pulang nanti.”
       Aku tidak tahu apakah yang aku katakan waktu itu salah atau menyakitkan tapi tiba-tiba air mata Dinda menetes dengan derasnya. “Mengapa kamu menangis, Dinda?” tanya ku. “Hu... Aku kasihan sama kamu.” Katanya. “Jangan bersedih begitu, dong. Lihat, aku baik-baik saja kan?” kata ku. “Tapi selama ini kamu sendirian. Pasti itu sangat menyedihkan.” Kata Dinda. “Iya, sih. Memang menyedihkan, tetapi aku tetap kuat kok karena aku harus mampu terlihat kuat ketika orang tua ku pulang nanti.” Kata ku mencoba menenangkan Dinda. Tangis Dinda pun makin keras dan semakin sulit untuk dihentikan. Aku pun hanya bisa memeluknya dan meminjamkan pundak ku kepadanya hingga dia mulai perlahan-lahan pulih kembali. “Sudah malam, lebih baik kamu pulang.” Kata ku. “Kalau begitu kamu masuk juga kerumah.” Kata Dinda. “Tentu saja.” Kata ku. Dan kami pun berpisah malam itu dan tanpa kusadari itu adalah malam perpisahan bagi kami.
       Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pintu rumahku diketuk berkali-kali. Aku yang masih sangat mengantuk pun berjalan setengah sadar lalu membuka pintu. Betapa terkejutnya aku ketika kulihat Dinda sedang berdiri di depan pintu sambil membawa tas ransel yang besar. “Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?” tanya ku sambil mengusap kedua mataku. Dengan wajah murung Dinda menjawab “Mungkin ini akan mengejutkan mu. Tapi hari ini aku harus kembali ke kota.” Kata Dinda. “Apa? Kamu kembali ke kota?” tanya ku. “Iya, makanya aku datang untuk mengucapkan salam perpisahan kepada mu.” Aku tidak tahu kenapa tetapi tanpa sadar air mata ku mulai menetes. “Jangan menangis, nanti perjalananku jadi tidak baik.” Kata Dinda. “Maaf, maaf. Aku hanya terkejut. Tak terasa ya, kita sudah harus berpisah aja.” Kata ku sambil mengusap air mata di pipiku. “Karena itu aku ke sini untuk mengantarkan makanan untukmu.” Kata Dinda sambil menyodorkan rantang kepadaku. “Kok, kamu sampai repot-repot begini, sih?” tanya ku. “Nggak apa-apa kok. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau menemani ku selama liburan ini.” Katanya.


       “Baiklah, terima kasih kalau begitu. Akan aku ceritakan kepada orang tua ku tentang mu jika mereka kembali, itu pasti.” Kata ku kepadanya. “Haha, mungkin ini menyakitkan. Tapi sebenarnya orang tuamu selalu bersamamu.” Kata Dinda. “Maksudmu?” tanya ku. “Aku mohon maaf kalau ini memang berat bagimu. Sebenarnya mereka sudah meninggal, Ri. Dan mereka dimakamkan dibalik pohon beringin tempat mu duduk itu.” Kata Dinda sambil menundukkan kepalanya. “Darimana kamu tahu?” tanya ku dengan terkejut. “Aku mengetahuinya kemarin sore ketika aku lagi masak makanan untuk mu kemarin. Orang tua mu meninggal karena kecelakaan dan dimakamkan tanpa sepengetahuanmu.” Jawab Dinda sambil menangis. Aku terdiam sesaat, terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Dinda. Tapi, aku menguatkan diri dan menenangkan Dinda yang sedang menangis. “Tidak apa. Setidaknya aku selalu menjaga mereka.” Kata ku. “Sekarang kamu harus pergi, kedua orang tuamu sedang menunggu mu. Pergilah dan bahagiakanlah mereka. Karena jika kamu berhasil membahagiakan mereka, aku juga akan merasa bahagia.” Kata ku. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Dinda. “Tentu saja, sebelum kamu ke sini aku juga baik-baik saja, kan? Pasti aku juga bisa berjuang meskipun kamu harus pergi.” Kata ku. “Baiklah kalau begitu aku pergi. Dan jangan lupa untuk memakan makanan yang kumasak yah.” Katanya. “Tentu saja.” Kata ku. Dan kami pun berpelukan untuk yang terakhir kalinya. Lambat laun Dinda mulai pergi menghilang dari pandangan ku.
       Aku pun memutuskan untuk memakan bekal yang diberikan Dinda. Setelah makan, di rantang terbawah, aku melihat ada sepucuk surat beserta foto Dinda yang sedang tersenyum manis. Kubuka dan kubaca surat tersebut dan surat itulah yang akhirnya mengubah hidupku menjadi sukses seperti sekarang ini. Meskipun hingga kini aku belum berhasil menemukan Dinda.
 Begini isi surat tersebut:
       Untuk Eri,
       Jika kamu membaca surat ini, maka aku sudah berada di dalam bus dan pergi meninggalkan desa. Tapi kamu jangan putus asa, kamu pasti bisa menghadapi semuanya karena ketika aku melihatmu untuk pertama kalinya aku merasa nyaman berada di dekatmu. Kamu sangat tegar dan bahkan kamu masih sempat memperdulikan orang lain daripada diri kamu sendiri. Orang tuamu pasti bangga memiliki seorang anak yang baik dan setia sepertimu. Untuk itu, lewat surat ini aku ingin agar kamu segera berubah. Raihlah mimpi yang selama ini orang tuamu harapkan. Bukan dengan menunggu mereka di bawah pohon setiap hari, tetapi dengan menggapai cita-cita yang kau miliki. Percayalah kedua orang tuamu akan tersenyum dengan bangga melihatmu sukses nantinya.
      




Oh ya, surat ini jangan dibuang. Simpanlah surat ini sebagai janjimu kepada ku bahwa kita akan bertemu suatu hari nanti dan tunjukkanlah surat ini kepadaku untuk membuktikan bahwa kamu masih Eri yang dulu. Kamu masih seorang Eri yang baik kepada ku dan kepada semua orang. Sampai sini dulu kata-kata yang ingin aku sampaikan kepadamu bukan karena aku sudah bosan, tetapi karena semua yang ingin ku katakan akan kukatakan kelak ketika kita bertemu lagi nanti.


       Salam,
Malaikat kecilmu

Dinda


EmoticonEmoticon